Cerpen - Dunia Kecil di Belakang Rumah
DUNIA KECIL DI BELAKANG RUMAH
karya : Efendi Wongso
Bukan pemberian apa-apa
sebenarnya. Sepasang baju dari bahan katun bercorak norak tabrak-warna tentu
bukan hal yang patut dibanggakan. Apalagi sebagaispecial gift. Tapi anak
ceking itu melonjak kegirangan bukan kepalang tanggung seperti menang undian.
Dipeluknya sertamerta tubuh lampai Helen dengan sekali rengkuh. Menggelayut di
lehernya yang jenjang. Menciumi pipinya berkali-kali.
Sebulan sudah diakrabinya
bocah perempuan jalan sepuluh itu. Ini pengalaman baru persahabatannya dengan
gadis cilik pemulung kardus di perkampungan kumuh belakang rumah istananya.
Tentu saja tanpa
sepengetahuan kedua orangtuanya. Juga sebasung karyawan rumah yang setiap hari
berlagak seperti prajurit istana. Yang mendapat amanat menjagainya siang-malam
agar tidak keluyuran di luar rumah. Bukan untuk apa-apa. Terlalu riskan
membiarkan Helen Cherry Hidayat tanpa pengawalan. Sejumlah media elektronik
gencar menayangkan berita kriminal bikin hati bergidik. Salah satunya adalah
maraknya penculikan anak. Hal itu menggamangkan sepasang pengusaha garmen kaya,
Tuan Hidayat Razak dan Nyonya Tinneke Warouw, sehingga mengambil keputusan yang
agak berlebihan. Memasung putrinya dalam tirani pranata.
Menginjak enam belas usianya,
dia memang masih dianggap kanak-kanak. Banyak hal yang belum boleh dilakukannya
sebagai eksistensi kemandirian. Berangkat dan pulang sekolah saja mesti
dijemput supir khusus. Jadi kebebasan ala reformasi memang belum pantas
untuknya.
Maka ketika dia mulai
menyadari kekangan yang tidak sehat itu, dia pun mengajukan banding dalam
bentuk protes. Sayang kasasinya ditolak. Amar keputusan tetap menegaskan bahwa
dia harus anteng di rumah. Menjalani rutinitas sebagai putri tunggal yang
manis. Toh tidak ada sesuatu yang kurang dalam setiap daftar permintaannya.
Apa-apa juga ada, kok!
"Baju ini...."
"Baju itu untukmu, Zul!"
"Tapi...."
"Titik!"
"Baju itu untukmu, Zul!"
"Tapi...."
"Titik!"
Helen meletakkan telunjuknya persis di tengah
pelepah bibir gadis cilik dekil itu. Gadis cilik itu melepaskan pelukannya.
Sepasang matanya masih membola.
"Tapi, Kak...."
"Hop dengan tapi-tapianmu itu, Zul! Pokoknya, baju itu harus kamu terima. Jangan pikir Kak Helen mau
"Hop dengan tapi-tapianmu itu, Zul! Pokoknya, baju itu harus kamu terima. Jangan pikir Kak Helen mau
memulangkan kembali baju-baju itu ke mal karena
kamu tolak."
"Terima kasih, Kak
Helen!" Helen mengangguk.
"Tapi, apakah Papa-Mama Kak Helen tidak marah?"
"Baju itu tidak berarti buat mereka. Jadi untuk apa marah?"
"Tapi, Pak Nurdin...."
Helen menghela napas. Nama yang dimaksud oleh gadis cilik itu pasti kepala satpam depan gerbang.
"Tapi, apakah Papa-Mama Kak Helen tidak marah?"
"Baju itu tidak berarti buat mereka. Jadi untuk apa marah?"
"Tapi, Pak Nurdin...."
Helen menghela napas. Nama yang dimaksud oleh gadis cilik itu pasti kepala satpam depan gerbang.
Selama ini lelaki berkumis tebal itulah yang
selalu menggebah keinginan kabur sesaatnya dari rumah. Hei, lelaki itu seperti
punya bakat menjadi sekuriti profesional. Padahal, bukan sekali-dua dia
mengatur siasat rapi untuk melarikan diri. Pakai segala cara yang dilatahnya
dari Charlie Angels-nya Cameron Diaz-Drew Barrymore-Lucy Liu!
"Nurdin sok galak. Tapi,
jangan kuatir. Dia sudah Kak Helen jinakkan!"
"Hihihi. Memangnya herder ya, Kak?"
"Iya. Dia lebih galak dari herder."
"Hihihi. Memangnya herder ya, Kak?"
"Iya. Dia lebih galak dari herder."
Gadis cilik itu kembali
terkikik. Gigi susunya yang ompong sebiji tampak lucu di mata Helen. Heran. Ada
keceriaan yang menyertai kesehariannya kini.
Tidak seperti kalau di rumah. Bete. Meski dibanjiri fasilitas permainan, tapi
rasanya selalu saja ada yang kurang. Sejak kehadiran Siti Zulaikha dalam
hari-harinya yang panjang dan melelahkan, dia seperti kembali menemukan
dunianya yang hilang. \
Sejak kematian Oma Selena,
orangtua perempuan dari pihak Mamanya itu, keceriaan masa kanak-kanaknya
seperti tersaput kabut. Dia tidak punya teman bermain lagi. Kedua orangtuanya
terlalu sibuk dengan urusan bisnis. Nyaris tidak ada waktu untuk putri
tunggalnya tersebut. Kasih sayang yang sebenar-benarnya tidak pernah
dirasakannya meski sederet fasilitas mewah mewakili kealpaan mereka.
Pertemuannya dengan Siti
Zulaikha memang seperti obat penawar renjana. Pertemanan itu memupus
kegersangan kasih sayang yang tidak didapatinya secara sempurna dari Papa dan
Mamanya. Siti Zulaikha hadir dalam hidupnya bukan sekadar teman. Namun lebih
dari itu, dia merupakan sebuah anugerah dari langit!
Mengajarinya banyak hal tentang kehidupan lain di luar dari dunianya yang hangat dan nyaman. Sisi suram pergulatan hidup sebagian manusia memang telah terpapar dari sosok gadis kecil sahabatnya itu.
Dan dia memafhumi dunia lain itu.
Mengajarinya banyak hal tentang kehidupan lain di luar dari dunianya yang hangat dan nyaman. Sisi suram pergulatan hidup sebagian manusia memang telah terpapar dari sosok gadis kecil sahabatnya itu.
Dan dia memafhumi dunia lain itu.
***
Helen masih ingat ikhwal
perkenalannya dengan Siti Zulaikha. Kurang lebih sebulan lalu saat dia hendakberangkat
ke sekolah, dia bertemu dengan gadis itu di muka gerbang rumah. Ketika itu dia
tengah memulai rutinitas hariannya memulung pada pagi hari.
"Untuk apa kardus-kardus
bekas itu?"
"Fungsinya banyak, Kak. Sebagian dijual, lalu sebagian lagi untuk bikin rumah."
"Rumah-rumahan? Wah, asyik ya? Seperti jigzaw begitu...."
"Bukan rumah-rumahan. Tapi, rumah. Rumah untuk tempat kami tinggal dan berteduh. Atapnya bisa dari
"Fungsinya banyak, Kak. Sebagian dijual, lalu sebagian lagi untuk bikin rumah."
"Rumah-rumahan? Wah, asyik ya? Seperti jigzaw begitu...."
"Bukan rumah-rumahan. Tapi, rumah. Rumah untuk tempat kami tinggal dan berteduh. Atapnya bisa dari
seng tua atau plastik terpal bekas, dan
dinding-dindingnya ya dari kardus-kardus ini."
"Hah?!"
"Kenapa Kakak heran?"
"Jadi, kalian tinggal di rumah-rumahan...."
"Rumah. Seperti di seberang kanal itu!"
"Ja-jadi...."
"Jadi kami sekeluarga tinggal berteduh di dalamnya. Tapi, rumah kardus tidak tahan lama. Tiap sebentar
"Kenapa Kakak heran?"
"Jadi, kalian tinggal di rumah-rumahan...."
"Rumah. Seperti di seberang kanal itu!"
"Ja-jadi...."
"Jadi kami sekeluarga tinggal berteduh di dalamnya. Tapi, rumah kardus tidak tahan lama. Tiap sebentar
harus diganti kardus bekas yang baru. Kalau
musim penghujan kardus-kardus akan benyek. Itu tidak seberapa dibandingkan
kalau air kanal meluap banjir. Rumah kami bisa terseret. Untung kalau tidak
menyeret kami sekalian."
Keheranannya itu menerbitkan
rasa ingin tahu. Tentang rumah-rumah kardus di seberang kanal, belakang
perumahan megah rumahnya. Hari demi hari dia menyimak dengan takzim dunia yang
tidak lazim baginya. Sama sekali tidak pernah membayangkan ada dunia kecil
dengan ratusan bahkan ribuan penghuninya yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Tepat di belakang rumah
istananya!
Lalu diakrabinya gadis kecil
itu sebagai bagian dari keingintahuannya. Ternyata banyak hal yang tidak
diketahuinya sama sekali. Dia telah dibutakan oleh kungkungan tembok tinggi.
Yang disibak dengan tirai baku sehingga mempolakan keseragaman yang indah
semata di benaknya. Padahal, pada kenyataannya dunia ini tidak seindah apa yang
dibayangkannya selama ini.
"Kami tidak pernah
tinggal menetap lama. Selalu berpindah-pindah tempat. Kena gusur di sana-sini.
Zul capek, Kak!"
Dari persahabatannya dengan
gadis cilik itu pula dia dapat merasakan getirnya hidup kaum marjinal.
Diam-diam dia bersyukur dengan kondisi keluarganya yang mapan sekarang.
***
"Kak Helen kok mau
berteman dengan Zul?"
"Memangnya kenapa?"
"Apa tidak risih jalan dengan Zul yang dekil begini?"
"Kenapa harus risih? Memangnya orang dekil tidak boleh punya teman?"
"Tapi, Zul sama sekali tidak punya apa-apa. Justru Zul yang jadi risih kalau begitu."
"Persahabatan itu tidak ditakar dengan materi. Kamu jangan minderan begitu dong, Zul!"
"Iya, sih. Tapi, Zul kan harus tahu diri."
"Tahu diri untuk selalu mawas terhadap harga diri memang mesti. Kita kan sama-sama manusia. Jadi
"Memangnya kenapa?"
"Apa tidak risih jalan dengan Zul yang dekil begini?"
"Kenapa harus risih? Memangnya orang dekil tidak boleh punya teman?"
"Tapi, Zul sama sekali tidak punya apa-apa. Justru Zul yang jadi risih kalau begitu."
"Persahabatan itu tidak ditakar dengan materi. Kamu jangan minderan begitu dong, Zul!"
"Iya, sih. Tapi, Zul kan harus tahu diri."
"Tahu diri untuk selalu mawas terhadap harga diri memang mesti. Kita kan sama-sama manusia. Jadi
masing-masing punya nilai yang sama di mata
Tuhan. Kalau orang lain mencibir persahabatan kita, ya biarkan saja. Memangnya
Kak Helen pikirin?"
"Tapi, Zul takut Papa
dan Mama Kak Helen marah!"
"Kalau tidak berbuat salah, kenapa harus takut?!"
"Tapi...."
"Zulaikha-Zulaikha! Kamu harus pede. Buat apa Kak Helen susah-susah mau mengajar Zul membaca kalau
"Kalau tidak berbuat salah, kenapa harus takut?!"
"Tapi...."
"Zulaikha-Zulaikha! Kamu harus pede. Buat apa Kak Helen susah-susah mau mengajar Zul membaca kalau
bukan untuk pintar? Kalau sudah pintar kan bisa
jadi orang gedean. Seperti Papa dan Mama Kak Helen. Punya perusahaan
sendiri."
"Iya, sih.
Tapi...."
"Sudahlah. Tidak ada tapi-tapian. Sekarang, kamu tuh adik Kak Helen."
"Ap-apa kata Kak Helen?!"
"Kamu adik Kak Helen!"
"Siti Zulaikha adalah adik Kak Helen?!"
"He-eh."
"Ja-jadi...."
"Jadi kamu tuh tidak usah malu lagi jalan sama Kak Helen. Karena kamu adalah adik Kak Helen."
Gadis cilik itu sertamerta memeluk tubuh jenjang Helen. Lalu menciumi pipinya berkali-kali seperti biasa.
"Sudahlah. Tidak ada tapi-tapian. Sekarang, kamu tuh adik Kak Helen."
"Ap-apa kata Kak Helen?!"
"Kamu adik Kak Helen!"
"Siti Zulaikha adalah adik Kak Helen?!"
"He-eh."
"Ja-jadi...."
"Jadi kamu tuh tidak usah malu lagi jalan sama Kak Helen. Karena kamu adalah adik Kak Helen."
Gadis cilik itu sertamerta memeluk tubuh jenjang Helen. Lalu menciumi pipinya berkali-kali seperti biasa.
Tak terasa airmatanya menitik. Indah
persahabatan dua anak manusia dari dua dunia yang berbeda memang adalah
anugerah.
0 Response to "Cerpen - Dunia Kecil di Belakang Rumah"
Posting Komentar